BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual
pada integritas individu yang dapat menyebabkan gangguan biologis maupun
psikologis sehingga dapat menimbulkan respon berupa nyeri.(Andarmoyo, 2013).
Keadaan nyeri bila tidak diatasi dapat
menimbulkan efek yang membahayakan yaitu akan mengganggu proses penyembuhan dan
dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. (Helmi, 2012).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2009 terdapat
lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar
2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni
sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu
keadaan dimana terjadi disintegritas
tulang.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi
kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan
lalu lintas dan trauma benda tajam/ tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang
mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang(3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu
lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma
benda tajam/ tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Berdasarkan data
dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
tahun 2007 didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 46% penderita mengalami
kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 25%
mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap
adanya kejadian fraktur.
Berbagai penyebab fraktur cruris diantaranya cidera atau benturan, faktor
patologik,dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur cruris akan bertambah dengan adanya komplikasi yang
berlanjut diantaranya syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement,
kerusakan arteri, infeksi, dan avaskkuler nekrosis.
Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed union, non
union atau bahkan perdarahan. Berbagai tindakan bisa dilakukan di antaranya
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian masalah pasien
fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut sampai tindakan
setelah atau post operasi.
Fenomena yang ada dirumah sakit menunjukan bahwa pasien di rumah sakit
mengalami berbagai masalah keperawatan diantaranya nyeri, kerusakan mobilitas,
resiko infeksi, cemas, gangguan dalam beribadah dan deficit
perawatan diri. Masalah tersebut harus di antisipasi dan di atasi
agar tidak terjadi komplikasi.
Dalam upaya membantu klien memperoleh kenyamanan atau pulih dari rasa nyeri
yang dirasakan, perawat harus memandang pengalaman nyeri dari sudut klien bukan
dari sudut perawat sendiri. Pertama dengan pembersihan luka dan debridement
teratur pada jaringan yang terinfeksi. Kedua dengan cara tekhnik relaksasi dan
distraksi untuk mengalihkan perhatian rasa nyeri dan mengurangi ketegangan
akibat rangsangan nyeri. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan keperawatan fraktur cruris
dengan masalah keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri”.
1.2 Batasan Masalah
Masalah
pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan gangguan rasa nyaman
nyeri pada pasien berjenis kelamin laki-laki, usia 22-60 tahun. Dengan fraktur
cruris dekstra tertutup di paviliyun asoka RSUD Jombang.
1.3 Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalami
fraktur cruris dengan gangguan rasa nyaman nyeri di ruang asoka RSUD Jombang.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami fraktur cruris dengan gangguan rasa nyaman nyeri di ruang asoka RSUD
Jombang.
1.4.2
Tujuan Khusus
a.
Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami
fraktur cruris dengan gangguan rasa nyaman nyeri di paviliyun asoka
RSUD Jombang.
b.
Mampu menetapkan diagnose keperawatan
pada klien yang mengalami
fraktur cruris dengan gangguan rasa nyaman nyeri di paviliyun asoka
RSUD Jombang.
c.
Mampu menyusun perencanaan keperawatan
pada klien yang mengalami
fraktur cruris dengan gangguan rasa nyaman nyeri di paviliyun asoka
RSUD Jombang.
d.
Mampu melaksanakan tindakan
keperawatan pada klien yang mengalami
fraktur cruris dengan gangguan rasa nyaman nyeri di paviliyun asoka
RSUD Jombang.
e.
Mampu melakukan evaluasi pada klien yang mengalami fraktur cruris dengan gangguan rasa nyaman nyeri di paviliyun asoka
RSUD Jombang.
1.5
Manfaat
Terkait dengan tujuan, maka tugas
akhir ini diharapkan dapat memberi manfaat :
1.5.1 Manfaat
Teoritis
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman nyata dalam
memberikan asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri pada klien dengan
fraktur kruris, serta melatih ketrampilan dalam menghadapi situasi nyata serta
kemampuan dalam menerapkan teori yang telah diperoleh selama pendidikan.
1.5.2 Manfaat Secara Praktis
a. Bagi
Profesi keperawatan
Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini
diharapkan dapat memberikan masukan dalam menerapkan asuhan keperawatan
gangguan rasa nyaman nyeri
pada klien dengan fraktur cruris
.
b. Bagi
Rumah Sakit
Memberikan masukan dalam
melaksanakan pelayanan keperawatan yang berorentasi pada masalah kesehatan guna
memenuhi kebutuhan dasar manusia dan untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan
pada pasien fraktur cruris.
c. Bagi
Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan
perbandingan asuhan keperawatan pasien fraktur cruris satu dengan lainnya. Dapat pula menjadi bahan bacaan
dalam menunjang proses belajar mengajar .
d. Bagi
Klien
Untuk memberikan informasi yang lebih jelas tentang
fraktur.
BAB 2
TINJAUAN
TEORI
2.1 Konsep Fraktur Cruris
2.1.1
Pengertian
Fraktur atau
patah tulang adalah terputusnya konttinuitas tulang atau tulang rawan , umumnya
di karenakan rudapaksa. Fraktur umumnya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik .Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut , keadaan tulang dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau
tidak lengkap (Mansjoer, 2008)
Fraktur adalah suatu patahan pada
kontinuitas struktur tulang . Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu
retakan , suatu pengisutan asatu perimpilan korteks; biasanya patahan itu
lengkap dan fragmen tulang bergeser . kalu kulit di atasnya masih utuh ,
keadaaan ini disebut fraktur tertutup (sederhana); kalau kulit atau salah satu
dari rongga tubuh tertembus , keadaan ini disebut fraktur terbuka (compound) yang cenderung untuk
mengalami kontaminasi dan infeksi (Apley dan Solomon, 2013)
Fraktur
kruris adalah terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula disertai kerusakan
pada jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) sehingga
memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar. Hal ini dapat disebabkan
oleh suatu cedera dari trauma langsung yang mengenai kaki. Kondisi anatomis
dari tulang tibia yang terletak di bawah subkutan memberikan dampak terjadinya
resiko fraktur terbuka lebih sering dibandingkan tulang panjang lainnya saat
terjadi trauma.
Tibia
atau tulang kering merupakan kerangka utama dari tungkai bawah dan terletak
medial dari fibula atau tulang betis. Pada kondisi klinik, kedua tulang ini
dinamakan tulang kruris karena secara anatomis kedua tulang ini pada beberapa
keadaan seperti pada trauma yang mengenai tungkai bawah kedua tulang ini sering
mengalami fraktur. Pada kondisi trauma, anatomi tulang tibia yang sangat
mendekati permukaan (karena hanya dilapisi oleh kulit) memberikan kemungkinan
lebih sering terjadi fraktur. Otot-otot dan ligamen kaki secara fisiologis
mampu menggerakkan berbagai fungsi dari telapak kaki.
2.1.2
Etiologi
1. Cedera
Traumatik
Cedera
Traumatik pada tulang disebabkan oleh :
a. Cedera
langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan .Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
kulit diatasnya .
b. Cedera
tidak Langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan .
c. Fraktur
yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat .
2. Fraktur
Patologik
Dalam
Hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a. Tumor
Tulang ( Jinak atau Ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif .
b. Infeksi
seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progeresif , lambat dan sakit nyeri .
c. Rakhitis
; suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya di sebabkan kegagalan
absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah .
3. Secara
Spontan
Di sebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas kemiliteran.
2.1.3
Klasifikasi Fraktur Kruris
Menurut Reeves. (2001)
Berdasarkan parahnya integritas
kulit, lokasi, bentuk, patahan dan status kelurusan
1. Fraktur tertutup ( simple )
Fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit atau tidak menyebabkan robeknya
kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan.
2. Fraktur terbuka ( complete )
Fraktur yang mempunyai hubungan dngan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) dan berpotensial untuk
terjadi infeksi.
3. Fraktur komplit ( complete )
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang
dari tulang dan frgmen tulang biasanya berubah tempat atau mengalami pergeseran
atau perpindahan posisi tulang.
4. Fraktur tak komplit ( Incomplete )
Fraktur yang hanya melibatkan sebagian potongan menyilang tulang satu sisi patah yang lain biasanya hanya bengkok
(green stick)
Tipe fraktur yang berat.
1. Greenstick
fraktur yang tidak sempurna dan
biasanya sering terjadi pada anak-anak.
2. Transversal
Fraktur luas
yang melintang dari tulangf atau fraktur sepanjang garis tengah
tulang
3. Oblik
Fraktur yang
memiliki arah miring.
4. Spiral
Fraktur luas
yang mengelilingi tulang.
5. Kominutif
Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
frakmen.
6. Depresi
fraktur ini terjadi pada tulang
pipih, khususnya tulang tengkorak dimana kekerasan langsung mendorong bagian
tulang masuk kedalam.
7. Kompresi
Fraktur dimana
tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang).
8. Avulsi
disebabkan oleh kontraksi otot
yang kuat, sehingga menarik bagian tulang tempat tendon tersebut melekat.
Paling sering terjadi pada bahu dan lutut, tetapi bisa juga terjadi pada
tungkai dan tumit.
9. Patologis
Fraktur terjadi pada penyakit tulang ( seperti
kanker, osteoforosis ) dengan tak ada trauma, atau fraktur yang terjadi pada
daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.
2.1.4 Tanda dan Gejala
1.
Nyeri
Nyeri terus-menerus dan bertambah
beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai otot
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2.
Krepitasi
Saat
ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus Yang teraba antara fragmen satu
dan fragmen lainnya akibat gesekan (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan lunak yang lebih berat).
3.
Pembengkakan dan
perubahan warna lokal pada kulit
Terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tandaini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
4.
Pemendekan tulang (pada
fraktur panjang)
Yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 cm sampai 5
cm (1 inchi sampai 2 inchi).
5.
Hilangnya fungsi dan
deformitas (perubahan bentuk)
Setelah
terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fraktur pada ekstremitas deformitas (terlihat maupun teraba). Ekstremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
2.1.5 Patofisiologi
Ketika
tulang patah, periostium dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang
dan jaringan lunak didekatnya (otot) cedera pembuluh darah ini merupakan
keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan
pembengkakan jaringan sekitar daerah cedera yang apabila di tekan atau di
gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkan syok neurogenik
(Mansjoer arief, 2008).
Sedangkan
kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang
dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan
gerak oleh karena fungsi pada daerah cedera. Sewaktu tulang patah pendarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel
darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di
tempat patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala
untuk membentuk sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. Tertariknya
segmen tulang disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur
menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku
dan terjadi kerusakan jaringan menyebabkan nyeri. ( Mansjoer arief, 2008).
2.1.6
Pencegahan
fraktur cruris
1.
Dengan membuat
lingkungan lebih aman.
Langkah-langkahnya:
a. Adanya pegangan
pada dinding dekat bak mandi (bathtub).
b. Melengkapi
kamar mandi dengan pegangan.
c. Menjauhkan
kesed dan kendala lain dari daerah yang dialui pasien dengan masalah locomotor.
d. Roda-roda kursi
beruda harus dilengkapi rem.
e. Mengajarkan
kepada pasien yang harus memakai alat bantu ambulatori dan kursi beroda sehingga
terampil.
2.
Mengajarkan
kepada masyarakat secara berkesinambungan mengenai:
a.
Bahaya minum sambil mengemudi.
b.
Pemakaian sabuk pengaman.
c.
Harus berhati-hati pada waktu mendaki tangga, melaksanakan kegiatan dengan
mengeluarkan tenaga atau alat berat.
d.
Mengunakan pakaian pengaman untuk pekerjaan berbahaya baik di rumah atau di
tempat pekerjaan.
e. Menggunakan
pakaian pelindung pada saat berolah raga.
3.
Mengajarkan
kepada para wanita mengenai masalah osteoporosis.
(Long, B. C.,
alih bahasa Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, 1996:
356).
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
1.
Foto rontgen
a.
Untuk mengetahui lokasi
fraktur dan garis fraktur secara langsung
b.
Mengetahui tempat atau
tipe fraktur biasanya diambil sebelum dan sesudah serta selama proses
penyembuhan secara peiodik (bertahap).
2.
Artelogram bila ada
kerusakan vaskuler
3.
Hitung darah lengkap HT
mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah
kompensasi normal setelah fraktur.
4.
Sebagai penunjang
pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (X-ray).
Hal yang harus dibaca pada X-ray :
a. Bayangan
jaringan lunak.
b. Tipis
tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periousteum atau biomekanik atau juga
rotasi
c. Sela
sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
5.
Selain foto polos X-ray
(plane X-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
a. Tomografi
: menggambarkan tidak satu struktur saja, tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasikan. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b. Myelografi
: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah diruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma
c. Arthrografi
: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed
tomografi-scanning : menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2.1.8
Penatalaksanaan
Kesembuhan
Fraktur dapat didukung oleh aliran darah dan stabilitas ujung patahan yang baik
.
Survei dan Resusitasi Primer
Setiap
penderita yang miliki riwayat trauma pada tulang tibia-fibula dilakukan survei
menyeluruh untuk mendeteksi adanya trauma multipel. Survei primer termasuk
mengevaluasi dan resusitasi ABC serta perubahan GCS, untuk mendeteksi
adanya trauma kepala. Penyelamatan jiwa penderita lebih utama sebelum
memberikan intervensi pada cedera pada trauma kruris. Prinsip ini akan
memberikan sikap agar petugas lebih waspada terhadap setiap perubahan yang
terjadi pada pederita.
Berikut
adalah beberapa intervensi prarumah sakit pada cedera kruris.
1. Lakukan
pengelolaan standar.
a. Periksa
ABCDE dan berikan terapi pada keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, hal tersebut dapat dimulai sebelum
pemeriksaan selesai.
b. Periksa
dan dokumentasikan keadaan neurovaskular sebelum melakukan intervensi, termasuk
memasang bidai. Periksa pulsasi perdarahan eksternal yang harus dihentikan, dan
periksa sensoris serta motorik dari ekstremitas.
2. Monitoring
ketat TTV, GCS dan akses vena.
Monitoring ketat TTV, tingkat kesadaran, dan
pemberian cairan melalui akses vena dilakukan selama prosedur transportasi ke
rumah sakit. Intervensi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kondisi syok .
Pengelolaan respon nyeri dilakukan dengan memberikan analgesic secara intravena
.
3. Obsevasi
dan Resusitasi Neuromuskuler
a. Luka
pada fraktur kruris terbuka ditutup dengan menggunakan kasa steril tebal
kemudian difiksasi untuk mencegah perdarahan lebih lanjut . Apabila luka pada
fraktur kruris terkontaminasi , maka lakukan irigasi dengan menggunakan cairan
normal salin untuk membuang material besar yang berada pada permukaan luka .
b. Periksa
adanya tanda sindrom kompartmen
-
Pain
( nyeri lokal)
-
Pallor
(pucat bagian distal)
-
Pulselessness
( tidak ada denyut nadi, perubahan nadi , CRT >3detik pada bagian kaki
distal)
-
Parasthesia
( tidak ada sensasi )
-
Paralysis
( kelumpuhan tungkai)
Pada kondisi didapatkan adanya tanda syndrom
kompartemen, maka pertimbangkan lama waktu pascakejadian (mulai adanya tanda
sindrom kompartemen) dengan lama waktu transportasi ke tempat rujukan. Apabila
wak tu yang diperlukan melebihi masa golden periode (masa kemampuan jaringan
yang mengalami iskemia, biasanya estimasi waktu sekitar 6 jam), maka
pertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi.
4. Pengelolaan
respons nyeri
Pengelolaan penurunan nyeri dapat dilakukan dengan
pengaturan posisi dan imobilisasi disertai traksi, pemberian analgesik, dan
dukungan psikologis. Pengaturan posisi dan imobilisasi dilakukan sesuai area
fraktur, kemudian lakukan pembidaian untuk memudahkan transportasi.
2.2 Konsep
nyeri
2.2.1 Pengertian nyeri
Nyeri
merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang
rusak, dan menimbulkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa
nyeri (Prasetyo, 2010).
Nyeri
merupakan mekanisme protektif yang dimasudkan untuk menimbulkan kesadaran
setelah atau akan terjadi kerusakan jaringan (Sherwood L, 2001).
Peran
perawat adalah mengidentifikasi dan mengobati penyebab nyeri dan berkolaborasi
dengan medis untuk meredahkan dan menghilangkan nyeri . Perawat tidak hanya
berkolaborasi dengan tenaga profesional kesehatan yang lain, tetapi juga
memberikan intervensi pereda nyeri, mengevaluasi efektivitas intervensi yang
sudah dijalankan, dan bertindk sebagai advokat pasien untuk intervensi tidak
efektif. Selain itu, perawat berperan sebagai pendidik atau educator untuk pasien dan keluarga,
mengajarkan mereka mengatasi penggunaan analgesik atau regimen pereda nyeri
oleh mereka sendiri ketika memungkinkan.
2.2.2 Klasifikasi nyeri
Secara
kualitatif membagi nyeri menjadi dua jenis, yakni nyeri fisiologis dan nyeri
patologis. Perbedaan utama antara kedua jenis nyeri ini adalah nyeri fisiologis
sensor normal berfungsi sebagai alat proteksi tubuh. Sementara nyeri patologis
merupakan sensor abnormal yang dirasakan oleh seseorangyang dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah trauma dan infeksi bakteri ataupun
virus ( Wolf, 1989).
2.2.3
Klasifikasi nyeri
berdasarkan durasi
1. Nyeri
akut
Nyeri
akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi
bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Untuk tujuan definisi, nyeri
akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung singkat (kurang dari 6
bulan). Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan suatu cedera atau
penyakit yang akan datang (Smeltzer, 2002).
2.
Nyeri kronik
Nyeri
kronik adalah nyeri konstan atau interminten yang menetap sepanjang suatu
periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (Potter & Perry, 2005).
Nyeri
kronik dibagi menjadi dua, yaitu nyeri kronik nonmalignant dan malignan. Nyeri
kronik nonmalignant merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang
tidak progesif atau yang menyembuh,bisa timbul tanpa penyebab dan gejala
misalnya nyeri pinggang bawah, dan nyeri yang didasari atas kondisi kronis,
misalnya osteoarthtiris. Sementara itu nyeri maligna yang disebut juga nyeri
kanker memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi , yaitu terjadi akibat
ada perubahan dari saraf. Perubahan ini terjadi bisa karea penekanan pada saraf
akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan
oleh kanker itu sendiri (Potter & Perry. 2005).
Perbandingan
karakteristik nyeri akut dan yeri kronis
Karakteristik
|
Nyeri akut
|
Nyeri kronis
|
·
Tujuan atau
keuntungan
|
·
Memperingatkan adanya
cedara atau masalah
|
·
Tidak ada
|
·
Awitan
|
·
Mendadak
|
·
Terus menerus atau
intermiten
|
·
Intensitas
|
·
Ringan sampai berat
|
·
Ringan sampai berat
|
·
Durasi
|
·
Durasi singkat (dari
beberapa detik sampai 6 bulan)
|
·
Durasi lama 6 bulan
atau lebih)
|
·
Respons otonom
|
·
Konsisten dengan
respons stress simpatis
·
Frekuensi jantung
meningkat
·
Volume sekuncup
meningkat
·
Tekanan darah
meningkat
·
Dilatasi pupil
meningkat
·
Motalitas
gastrointestinal menurun
·
Aliran saliva menurun
(mulut kering)
|
·
Tidak ada respons
otonom
|
·
Komponen fisiologis
|
·
Ansietas
|
·
Depresi
·
Mudah marah
·
Menarik diri dan
minat dunia luar
·
Menarikdiri dari
persahabatan
|
·
Respons jenis lainnya
|
|
·
Tidur terganggu
·
Libido menurun
·
Nafsu makan menurun
|
·
Contoh
|
·
Nyeri badan, trauma
|
·
Nyeri kanker,
arthritis, neuralgia trigeminal
|
(Dikutip dari Porth
CM. Pathopysiology: Concepts of Altered
of Health State, Philadelphia, JBLippincott 1995 dalam Smeltzer, 2002.
|
2.2.4
Penilaian respons
intensitas nyeri
Skala penilaian numerik ( Numerical rating scale,
NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Pembangian tingkat nyeri
yaitu, angka 0 : tidak nyeri, angka 1-3 : nyeri ringan, angka 4-6 : nyeri
sedang, angka 7-9 : nyeri berat, angka 10 : nyeri sangat berat (Perry dan
Potter, 2006).
2.3
Asuhan Keperawatan Fraktur Cruris
2.3.1
Pengkajian
Pengkajian
merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan klien ( Setiadi , 2012) . Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses
keperawatan melalui kegiatan peengumpulan data atau perolehan data yang akurat
dari pasien guna mengetahui berbagai permasalahan yang ada. (Alimatul Aziz,
2006 : 85).
2.3.2
Anamnesa
1. Keadaan umum: baik atau
buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien. Pada klien dengan fraktur tertutup biasanya tidak memiliki
masalah terhadap status kesadaran terkecuali pada pasien dengan hipovolemia
akibat perdarahan.
b. Tanda-tanda
vital : Temuan hipotensi, takikardia, takipneu, hipotermia pada pasien trauma
dapat menjadi data pendukung bahwa pasien sedang berada dalam keadaan syok
hipovolumia. ( Willkinson & Skinner, 2000 )
2. Pemeriksaan Had To Toe Pada
Pasien Fraktur Kruris
a.
Kepala
Seluruh kulit
kepala diperiksa. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala untuk adanya
pigmentasi, nyeri tekan, pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan
luka ruam ( Delp & Manning , 2004)
b.
Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
c.
Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
d.
Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
e.
Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
f.
Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
g.
Leher
Tidak ada gangguan
pada kesimetrisan leher, tidak ada pembesaran pada kelenjar tiroid, tidak ada
bendungan pada vena jugularis.
h.
Dada
Tak ada pergerakan otot
intercostae, gerakan dada simetris.
i.
Paru
- Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
- Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus teraba sama.
Pergerakan sama atau simetris, fermitus teraba sama.
- Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
- Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
j.
Jantung
-
Inspeksi
Tidak tampak
iktus cordis .
-
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada
mur-mur.
k.
Abdomen
-
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada asietes.
Bentuk datar, simetris, tidak ada asietes.
-
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, tidak ada nyeri tekan hepar , lien dan mc bourney .
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, tidak ada nyeri tekan hepar , lien dan mc bourney .
-
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
-
Auskultasi
Peristaltik usus normal.
Peristaltik usus normal.
l.
Ektremitas Atas & Ekstremitas
bawah
-
Inspeksi
Tidak ada
kesimetrisan antara ekstremitas bawah kiri dan kanan, terdapat memar sebagai
akibat dari trauma . terdapat benjolan, cekungan, pembengkakan, dan hal-hal
yang tidak biasa. terjadi perubahan suhu di sekitar daerah ekstremitas.
-
Palpasi
Terdapat pada
ekstremitas yang sakit terasa nyeri apabila ditekan bahkan disentuh. Terdapat
kekakuan otot, menunjukkan penurunan gradasi tingkat kekuatan otot.
m.
Anus & Genetalia
-
Banyak pasien fraktur yang
mengeluh konstipasi karena dampak imobilisasi.
2.3.3
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosis
keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau
komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan potensial atau
aktual.(Carpenito, 2007).
1.
Kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan fraktur terbuka.
2.
Nyeri (akut)
berhubungan dengan spasme otot.
3.
Kerusakan mobilitas
fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular.
4.
Resiko infeksi
berhubungan dengan kurang pengetahuan dengan perawatan post op.
5.
Ansietas berhubungan
dengan adanya ancaman terhadap konsep diri.
6.
Potensial terjadinya
infeksi sehubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit,
trauma jaringan.
7.
Kurang pengetahuan
tentang kondisi prognosis dan pengobatan sehubungan dengan kurangnya informasi.
(Dongoes, Marilynn E, 2000 : 761).
2.3.4 Intervensi asuhan
keperawatan pada fraktur cruris
Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi
masalah-masalah klien. Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses
keperawatan yang membutuhkan berbagai pengetahuan dan keterampilan, diantaranya
pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan dari pasien, nilai dan kepercayaan
pasien, batasan praktik keperawatan, peran dari tenaga kesehatan lainnya,
kemampuan dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan, menulis tujuan, serta
memilih dan membuat strategi keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan,
menulis instruksi keperawatan, dan bekerja sama dengan tingkat kesehatan lain
(Alimatul Aziz, 2006).
1. Nyeri
(akut) berhubungan dengan spasme otot.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3
x 24 jam diharapkan nyeri pasien berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
a. Menyatakan nyeri hilang,
menunjukan tindakan santai.
b. Mampu mengenali nyeri (skala,intensitas, frekuensi dan
tanda nyeri).
c. Mampu mengontrol nyeri.
d. Melaporkan bahwa nyeri berkurang.
Intervensi :
a. Pertahankan
imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat,
Rasional : Menghilangkan nyeri dan
mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cidera.
b.
Tinggikan dan dukung
ekstremitas yang terkena.
Rasional
: Meninggikan aliran balik vena, menurunkan odema, dan menurunkan nyeri.
c.
Tinggikan penutup
tempat tidur : pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki.
Rasional
: Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa ketidaknyamanan karena peningkatan
karena tekanan selimut pada bagian yang sakit.
d.
Evaluasi keluhan
nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik, termasuk intensitas
(0-10), perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan pada tanda vital dan
emosional/perilaku).
Rasional
: Mempengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi tingkat ansietas dapat
mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap nyeri.
e.
Jelaskan prosedur
sebelum memulai.
Rasional
: Memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk aktivitas juga
berpartisipasi dalam mengontrol tingkat ketidaknyamanan.
f.
Kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian analgesik
Rasional
: Untuk mengurangi rasa nyeri. (Dongoes Marilynn E 2000 : 767).
2.3.5 Implementasi
Merupakan
langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah diencanakan dalam rencana
tindakan keperawatan. Dalam hal ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik
dan perlindungan pada klien,teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman tentang hak–hak pasien serta dalam memahami tingkat
perkembangan pasien. Semua tindakan keperawatan dicatat ke dalam format yang
telah ditetapkan institusi. (A. Aziz Alimatul, 2009 : 112).
Implementasi merupakan Pengelolaan
dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan. Fokus dari intervensi keperawatan antara lain :
-
Mempertahankan daya
tahan tubuh .
-
Mencegah komplikasi.
-
Menemukan perubahan
sistem tubuh .
-
Menetapkan hubungan
klien dengan lingkungan .
-
Implementasi pesan
dokter . (Setiadi , 2012 )
2.3.6 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir
dari proses keperawatan dengan cara malakukan identifikasi sejauh mana tujuan
dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat
seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respon terhadap
intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang
dicapai serta kemampuan dalam menggabungkan tindakan kepearawatan pada kriteria
hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua
kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses
keperawatan belangsung atau menilai dari respon klien disebut evaluasi proses,
dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut
sebagai evaluasi hasil (A. Aziz Alimatul, 2009 : 122
Evaluasi
adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
secara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan
yang lain. Tujuan
evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien
dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan. (Setiadi
, 2012).
BAB 3
METODE
PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain Penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian, yang memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa faktor yang bisa mempengaruhi akurasi hasil. Istilah desain penelitian digunakan dalam dua hal; pertama, desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data (Nursalam, 2008).
Metode dalam penyusunan studi
kasus ini adalah deskriptif
dan merupakan bentuk studi kasus dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada suatu kasus , dimana mengunakan
pendekatan proses keperawatan dan menjabarkan pelaksanaan asuhan keperawatan
yang diberikan pada klien Fraktur Kruris
Dekstra Tertutup dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Pada Pasien berjenis kelamin laki –
laki , usia 22 – 60 tahun di
Paviliun Asoka RSUD Jombang .
.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.7.1
Lokasi Penelitian
Studi Kasus
ini dilakukan di Paviliun Asoka RSUD Jombang.
3.7.2 Waktu Penelitian
Studi kasus ini dilakukan sejak pasien pertama kali MRS sampai pulang dan
atau pasien yang dirawat minimal 3 hari . Jika sebelum 3 hari pasien sudah
pulang,
maka perlu penggantian pasien
lain yang sejenis.
3.3
Subyek Penelitian
Subyek
penelitian dalam studi kasus ini adalah dua pasien ( dua kasus ) dengan masalah
keperawatan yang sama yaitu klien
Fraktur Kruris Dekstra Tertutup
dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Pada Pasien berjenis kelamin laki –
laki, usia 22 – 60 tahun di
Paviliun Asoka RSUD Jombang.
3.4
Pengumpulan Data
Adapun
cara pengumpulan data pada penyusunan studi kasus ini adalah sebagai berikut :
- wawancara
Pembicaraan yang mengarah
pada arah tertentu yang dilakukan pada pertemuan tatapmuka, wawancara dapat
dilakukan secara formal maupun nonformal (lismidar,1990)
- observasi
Pengumpulan informasi
melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan alat perasa. data
yang didapat harus obyektif agar dapat dimengerti oleh orang lain
(lismidar,1990). Tekhnik pengkajian dibagi atas data primer dan sekunder.
a.
Data
Primer : sumber infomasi, yang langsung berasal dari yang mempunyai wewenang
dan bertanggung jawab terhadap data tersebut misalnya pasien.
( Nasrul Effendy , 1995).
b. Data
sekunder : sumber informasiyang bukan dari tangan pertama dan bukan mempunyai
wewenang dan tanggung jawab terhdap informasi atau dari data tersebut . misal
catatan medis, status pasien, catatan perawatan, dan perawat. ( Nasrul Effendy
, 19995)
c.
Dokumentasi
Mempelajari kasus baik dari
catatan perkembangan di rung rawat inap , maupun dari catatan medik.
3.5
Uji Keabsahan Data
Demi
terjaminnya keakuratan data, maka peneliti akan melakukan keabsahan data. Data
yang salah akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang salah, demikian pula
sebaliknya, data yang sah akan menghasilkan kesimpulan hasil penelitian yang
benar. Alwasilah dalam Bachri (2010:54) menjelaskan bahwa “tantangan bagi
segala jenis penelitian pada akhirnya adalah terwujudnya produksi ilmu
pengetahuan yang valid, sahih, benar dan beretika”.
Kebenaran atau validitas harus dirasakan
merupakan tuntutan yang terdiri dari tiga hal menurut Alwasilah (dalam Bachri,
2010:54) “yakni: 1) deskriptif, 2) interpretasi, dan 3) teori dalam penelitian
kualitatif”. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaaan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaaan data didasarkan atas sejumlah kriteria
tertentu. Menurut Bachri (2010:55) ada 4 (empat), yaitu:
1. Derajat kepercayaan
(credibility)
Pada dasarnya menggantikan konsep
validitas internal dari non kualitatif. Fungsinya untuk melaksanakan inkuiri
sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai dan mempertunujukan
derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti
pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.
2. Keteralihan(transferability)
3. Kebergantungan (dependabiliy)
3. Kebergantungan (dependabiliy)
Merupakan substitusi istilah realibilitas
dalam penelitian non kualitatif, yaitu bila ditiadakan dua atau bebrapa kali
pengulangan dalam kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif sangat sulit mencari kondisi yang
benar-benar sama. Selain itu karena faktor manusia sebagai instrumen, faktor
kelelahan dan kejenuhan akan berpengaruh.
4. Kepastian
(confirmability)
Pada penelitian kualitatif kriteria
kepastian atau objektivitas hendaknya harus menekankan pada datanya bukan pada
orang atau banyak orang.
Selain itu, dalam
keabsahan data ini juga dilakukan proses triangulasi. Menurut William Wiersma
dalam Sugiyono (2007:372)
3.6
Analisis Data
Analisis
data merupakan proses sistematis yang berlangsung terusmenerus bersamaan dengan
pengumpulan data (Daymon, 2008).
Dalam
menganalisis data, peneliti akan melakukan analisis data di lapangan. Salah
satu analisis data di lapangan yang akan dipakai yaitu analisis data dari
Miles
and Huberman, yang telah dikutip oleh Sugiyono (2011). Aktifitas analisis data
yang akan dilakukan yaitu data
reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
1. Data Reduction (Reduksi data).
Merupakan
kegiatan merangkun, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, mencari tema dan polanya.
2.
Data Display (penyajian data).
Menurut
Miles and Huberman, yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks
yang bersifat naratif.
3.
Conclusion Drawing/verification.
Kesimpulan
awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada :
- Data collection
- Data reduction
- Data display
3.7 Etika Penelitian
3.7.1 Informed Consent
Informed
Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden. Informed
Consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan
lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan Informed Consent adalah
agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.
3.7.2 Anonimity
(tanpa nama)
Masalah
etika merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek
penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama. Responden pada
lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau
hasil penelitian yang akan disajikan.
3.7.3 Confidentiality
(kerahasiaan)
Masalah
ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil
penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang
telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Hidayat, 2009).