BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Mobilitas fisik
merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan adanya koordinasi antara sistem
muskuluskelektal dan sistem saraf (Potter, Patricia A dan Anne G.Perry, 2010).
Hambatan mobilitas fisik dapat terjadi pada pasien dengan CVA karena kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Hambatan mobilitas fisik merupakan akibat dari lesi korteks batang otak,
medulla spinalis, ujung sel anterior, saraf perifer, maupun penghubung saraf
otot atau otot. Karena neuron motor atas menyilang, kelemahan pada salah satu sisi tubuh pasien
dengan CVA dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Hambatan mobilitas fisik umumnya adalah hemiplegia karena
adanya lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis adalah tanda yang lain
(Smeltzer Suzanne C dan Brenda G.Bare, 2001).
Widarti mita
(2013) yang melaporkan Penelitian tahun
2007 oleh auryn menyatakan bahwa, di amerika kurang lebih 5 juta orang
mengalami CVA tiap orang dan setiap tahun meningkat 750 ribu kasus, sedangkan
di asia khususnya Indonesia diperkirakan setiap tahun ada 500 ribu orang
mengalami CVA dan sekitar 2,5 persen diantaranya meninggal dunia dan sisanya
mengalami kecacatan fisik atau hambatan mobilitas fisik. Sedangkan berdasarkan
data yang di peroleh dalam 3 bulan terakhir mulai dari tanggal 01-Maret-2015
sampai tanggal 12-Mei-2015 di ruang paviliun flamboyan, terdapat 235 penderita
CVA yang di rawat di ruang paviliun flamboyan RSUD Jombang. Terdiri dari 140
penderita CVA nonhemoragi dan 95 penderita CVA hemoragi. Dan dari 140 penderita
CVA nonhemoragi hampir seluruhya mengalami hambatan mobilitas fisik.
CVA disebabkan
oleh trombosis, emboli, hypoperfusi sistemik, perdarahan subaracnoid,
perdarahan intracerebral (Tarwoto et al, 2007). CVA mengakibatkan mengakibatkan
lesi batang otak sehingga tubuh kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik dan mengakibatkan terjadinya hambatan mobilitas fisik. Dampak yang
terjadi pada pasien CVA dengan hambatan mobilitas fisik adalah perubahan
muskuluskelektal, perubahan sistem metabolisme, perubahan sistem pernafasan,
perubahan kardiovaskular, perubahan sistem eliminasi urine, perubahan integumen,
perubahan psikososial (Potter, Patricia A dan Anne G.Perry, 2010).
Penatalaksanaan
pasien CVA dengan hambatan mobilitas adalah kaji fungsi motorik, mengubah
posisi setiap 2 jam, letakkan pasien pada posisi telungkup jika mentoleransi,
letakkan papan penyangga pada kaki saat pasien tidur di tempat tidur, lakukan
latihan pergerakan sendi atau ROM, letakkan bantal pada ketiak diantara lengan
atas, observasi daerah yang tertekan, observasi tanda-tanda vital, anjurkan
pasien untuk latihan menggunakan ekstermitas yang sehat untuk menggerakkan
anggota tubuh yang lemah, kolaborasi dengan fisioterapi (Doenges Marilynn e et
al,1999).
Berdasarkan data
di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti masalah tentang “ Asuhan
keperawatan pasien CVA dengan hambatan mobilitas fisik“.
1.2
Batasan
Masalah
Masalah pada studi
kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada pasien CVA non hemoragi dengan
hambatan mobilitas fisik di ruang paviliun Flamboyan RSUD Jombang, usia lebih
dari 50 tahun dengan jenis kelamin laki-laki.
1.3
Rumusan
Masalah
Bagaimanakah
asuhan keperawatan pada pasien CVA dengan hambatan mobilitas fisik di ruang
paviliun flamboyan RSUD jombang ?
1.4
Tujuan
Penelitian
1.4.1 Tujuan
Umum
Melakukan
asuhan keperawatan sesuai dengan standar pelayanan asuhan keperawatan pada
pasien CVA dengan hambatan mobilitas fisik menggunakan pendekatan keperawatan
dan di dokumentasikan dalam bentuk SOAP di ruang paviliun flamboyan.
1.4.2 Tujuan
Khusus
a.
Melakukan pengkajian
data secara subjektif dan objektif pada pasien CVA dengan hambatan mobilitas fisik
di ruang paviliun flamboyan.
b.Mengidentifikasi
diagnosa keperawatan pada pasien CVA
dengan hambatan mobilitas fisik di ruang paviliun flamboyan.
c.
Menyusun rencana
keperawatan pada pasien CVA dengan hambatan mobilitas fisik di ruang paviliun
flamboyan.
d.
Melaksanakan rencana
keperawatan pada pasien CVA dengan hambatan mobilitas fisik di ruang paviliun
flamboyan.
e.
Mengevaluasi asuhan
keperawatan yang telah dilakukan pada pasien CVA dengan hambatan mobilitas
fisik di ruang paviliun flamboyan.
1.5
Manfaat
Penelitian
1.5.1 Manfaat
Teoritis
Sebagai
bahan kajian terhadap materi asuhan keperawatan pada pasien CVA dengan hambatan
mobilitas fisik.
1.5.2 Manfaat
Praktis
a.
Bagi Peneliti
Dapat mempraktekkan teori yang didapat
secara langsung dilapangan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien CVA
dengan hambatan mobilitas fisik.
b.Bagi
Lahan (Rumah Sakit)
Dapat dijadikan sebagai acuan untuk dapat
mempertahankan maupun meningkatkan mutu pelayanan, terutama dalam memberikan
asuhan keperawatan secara komprehensif kepada pasien CVA.
c.
Bagi Institusi
Sebagai bahan kajian terhadap materi
asuhan keperawatan serta referensi bagi mahasiswa dalam memahami asuhan
keperawatan pada pasien CVA secara komprehensif. Serta dapat digunakan sebagai
bahan ajar dalam materi perkuliahan.
d.
Bagi Klien
Klien mendapatkan asuhan keperawatan yang
sesuai dengan standar asuhan keperawatan.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Tinjauan
Teori
2.1.1
CVA
a)
Pengertian
Stroke (CVA)
adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologis
mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak (Nuratif
amin huda dan Hardi kusuma, 2013).
Stroke atau
cedera serebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan
oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer Suzanne C dan Brenda
G.Bare, 2001).
CVA adalah suatu
keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah diotak yang
menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang
menderita kelumpuhan dan kematian (Batticaca Fransisca B, 2012).
CVA adalah suatu
sindroma yang mempunyai karakteristik suatu serangan yang mendadak,
nonkonvulsif yang disebabkan karena gangguan peredaran darah otak non traumatik
(Tarwoto et al, 2007).
b)
Klasifikasi
Menurut Batticaca
Fransisca B (2012), CVA dibagi menjadi 2 :
a.
CVA hemoragi (bleeding)
adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Hampir 70%
kasus ini terjadi pada penderita hiperetensi. Stroke hemoragi di bagi menjadi 2
:
1) Hemoragi
intraserebral : perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Gejalanya :
a. Tidak
jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
b. Serangan
terjadi pada saat beraktivitas, dan emosi atau marah.
c. Mual
atau muntah pada permulaan serangan.
d. Hemiperesis
atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
e. Kesadaran
menurun dengan cepat dan menjadi koma.
2) Hemoragi
subarachnoid : perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid (ruang sempit
antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak). Gejalanya :
a. Nyeri
kepala hebat dan mendadak.
b. Kesadaran
sering terganggu dan sangat bervariasi.
c. Papiledema
terjadi bila ada perdarahan subaracnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri
komunikans anterior atau arteri karotis interna.
b. CVA
non hemoragi (infark) adalah tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau seluruhnya terhenti. CVA atau Stroke iskemik
dibagi menjadi 3:
1) Stroke
trombotik : proses terbentuknya trombus yang membuat penggumpalan.
2) Stroke
embolik : tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3) Hipoperfusion
sistemik : berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya
gangguan denyut jantung.
Diagnosa Banding
Kriteria
perbedaan
|
Stroke
hemoragik
|
Stroke
iskemik
|
||
Parencymatous hemorrhage
|
Subaracnoid hemorrhage
|
Trombosis of cerebral vessels
|
Embolism of cerebral vessels
|
|
Usia
|
45-60 th
|
20-40 th
|
50 th
|
Tidak penting pada sumber emboli
|
Tanda
awal
|
Sakit kepala menetap
|
Sakit kepala sementara
|
Serangan TIA (iskemik sementara)
|
Tidak sakit kepala
|
Wajah
|
Hiperemi pada wajah,injeksi konjungtiva
|
Hiperemi pada wajah,tampak blefarospasme
|
Pucat
|
Pucat
|
Saat timbulnya penyakit
|
Mendadak, kadang pada saat melakukan aktivitas dan adanya tekanan mental
|
Mendadak, merasa ada tiupan di kepala
|
Secara perlahan, sering pada malam hari atau
menjelang pagi
|
Mendadak
|
Gangguan
kesadaran
|
Penurunan kesadran mendadak
|
Gangguan kesadran yang reversible
|
Kecepatanya menurun sesuai dengan memberatnya
defisit neurologis
|
Sering pada awal kejadian atau perubahan yang
terjadi sesuai dengan beratnya defisit neurologis
|
Sakit
kepala
|
Kadang-kadang
|
Kadang-kadang
|
Jarang
|
Jarang
|
Motor
excitation
|
Kadang-kadang
|
Kadang-kadang
|
Jarang
|
Jarang
|
Muntah
|
70-80%
|
>50%
|
Jarang 2-5%
|
Kadang-kadang (25-30%)
|
Pernapasan
(breathing)
|
Irreguler,mengorok
|
Kadang cheyne-stokes kemungkinan bronchorrea
|
Jarang terjadi gangguan pada kasus proses hemisfer
|
Jarang terjadi gangguan pada kasus proses hemisfer
|
Nadi
(pulse)
|
Tegang braadikardi lebih sering dari pada
takikardi
|
Kecepatan nadi 80-100x/mnt
|
Mungkin cepat dan halus
|
Bergantung pada etiologi penyakit jantung
|
Jantung
(heart)
|
Batas jantung mengalami dilatasi, tekanan aorta
terdengar pada bunyi jantung ll
|
Patologi jantung jarang
|
Lebih sering kardiosklerosis, tanda “hipertonik”
jantung
|
Alat jantung, endokarditis,aritmia kardiak
|
Tekanan
darah (blood plessure)
|
Hipertensi arteri
|
Jarang meningkat (mungkin menetap tak berubah)
|
Bervariasi
|
Bervariasi
|
Paresis
atau plegia ekstremitas
|
Hemiplegia dengan aktifitas berlebih,ekstensi
abnormal
|
Bisa tidak ada, jaramg pada lutut
|
Hemiparesis lebih prominen pada salah satu
ekstremitas bisa mengarah ke hemiplegia
|
Hemiparesis,kelemahan disalah satu ekstremitas
lebih tampak dari pada yaang lainya. Kaadang-kaadang mengarah ke hemiplegia
|
Tanda
patologi
|
Kadang-kadang bilateral,tampak lesi pada salah
satu sisi serebral
|
Kadang-kaadang mengarah ke bilateral
|
Unilateral
|
Unilateral
|
Rata-rata
perkembangan penyakit
|
Cepat
|
Cepat
|
Secara perlahan
|
Cepat
|
Serangan
|
Jarang
|
30%
|
Jarang
|
Jarang
|
Tanda
awal iritasi meningeal
|
Kadang-kadang
|
Hampir selalu
|
Jarang
|
Jarang pada gejala awal penyakit
|
Pergerakan
mata
|
Kadang-kadang
|
Kadang-kadang
|
Kadang-kadang
|
Jarang
|
Cairan
serebrospinal
|
Berdarah atau xnthocromic dengan peningkatan
tekanan
|
Kadang-kadang perdarahan
|
Tidak berwarna dan jernih
|
Tidak berwarna dan jernih
|
Fundus
mata
|
Kadang-kadang perdarahan dan perubahan pembuluh
darah
|
Jarang perdarahan
|
Perubahan sklerotik pembuluh darah
|
Perbedaan perubahan pembuluh darah (aterosklerosis
dan vaskulitis)
|
Echo-EG
|
Terdapat
tanda pergantian M-echo dan hematoma
|
Tidak terdapat tanda pergantian M-echo di edema otak dan hipertensi intrakranial
|
Tidak terdapat tanda pergantian M-echo atau
kemungkinan pergantian hingga 2mm keutuhan hemisfer pada hari pertama
serangan stroke
|
Tidak terdapat tanda pergantian M-echo atau
kemungkinan pergantian hingga 2mm keutuhan hemisfer pada hari pertama
serangan stroke
|
Tabel 2.1 Diagnosa banding dan
perbedaan bentuk stroke (Batticaca Fransisca B, 2012)
c)
Penyebab
1. Menurut
Tarwoto et al, (2007), penyebab CVA adalah :
a. Trombosis
b. Emboli
c. Hypoperfusi
sistemik
d. Perdarahan
subaracnoid
e. Perdarahan
intracerebral
2. Menurut
Nuratif amin huda dan Hardi kusuma (2013), faktor resiko CVA dibedakan menjadi
2 :
a.
Faktor yang dapat
dirubah :
1)
Hipertensi
2)
Penyakit jantung
3)
Kolestrol tinggi
4)
Obesitas
5)
Stress emosional
6) Gaya
hidup (merokok,minum alcohol, obat-obatan terlarang, kurang olah raga)
b. Faktor
yang tidak dapat dirubah:
1) Keturunan
2)
Jenis kelamin (pria
ditemukan sering terjadi stroke dari pada laki-laki)
3)
Usia (semakin tua
semakin besar resiko terkena stroke).
d) Patofisiologi
Infark
serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah
dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh
darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau
cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau
karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung.
Arterosklerosis
sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari
plak arterosklerosis, atau darah dapat beku pada area stenosis, tempat aliran
darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus
dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran
darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark itu sendiri.
Edema
dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari.
Dengan berkurangnya edema klien menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis
biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan massif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti
thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah
maka akan terjadi abses atau encephalitis, atau jika sisa infeksi berada pada
pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah.
Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan
pada otak disebabkan oleh ruptur arterosklerotik dan hipertensi pembuluh darah.
Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena perdarahan
yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial dan
yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat
foramen magnum.
Kematian
yang disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang
otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Pembesaran darah ke
ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus
kaudatus, thalamus dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat
berkembang anoksia serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral
dapat reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia
lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi karena gangguan yang
bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain
kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi
otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar
dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area
yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi (Muttaqin Arif, 2012).
e)
Tanda
dan Gejala
Menurut Nuratif Amin
Huda dan Hardi Kusuma (2013), tanda dan gejala CVA adalah :
1)
Tiba tiba mengalami
kelemahan atau kelumpuhan separuh badan.
2)
Bicara pelo
3)
Gangguan penglihatan
4)
Gangguan bicara
5)
Gangguan daya ingat
6)
Nyeri kepala hebat
7)
Vertigo
8)
Penurunan kesadaran
9)
Proses kencing
terganggu
10) Gangguan
fungsi otak
f)
Komplikasi
Menurut
Smeltzer Suzanne C dan Brenda G.Bare (2001), komplikasi CVA adalah :
1) Hipoksia
serebral
2) Penurunan
aliran darah serebral
3) Embolisme
serebral
g)
Pemeriksaan
Diagnostik
a. Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan
pada klien CVA adalah (Batticaca Fransisca, 2012) :
1.
Angiografi serebral.
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya pertahanan atau
sumbatan arteri.
2.
Computer
Tomography (CT-Scan) mengetahui adanya tekanan
normal dan adanya thrombosis, emboli serebral, dan tekanan intracranial (TIK).
Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intracranial.
3.
Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan
daerah infark, perdarahan, malformasi
arteriovena (MAV).
4.
Ultrasonografi
Doppler (USG Doppler). Mengidentifikasi
penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis[aliran darah atau timbulnya
plak] dan atreriosklerosis.
5.
Elektroensefalogram
(EEG). Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah
lesi yang spesifik.
6.
Sinar Tengkorak.
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan dari
massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis
serebral, kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subaracnoid.
b.
Pemeriksaan
Laboratorium yang dapat dilakukan adalah (Batticaca Fransisca, 2012) :
1.
Darah Rutin
2.
Gula Darah
3.
Urin rutin
4.
Cairan serebrospinal
5.
Analisa gas darah (AGD)
6.
Biokimia darah
7.
Elektrolit
h)
Penatalaksanaan
CVA
Terapi
pengobatan tergantung dari jenis stroke (Tarwoto et al, 2007) :
a.
Stroke Hemoragi
1.
Antihipertensi :
Captropil, antagonis kalsium.
2.
Deuritik : Manitol,
furosemide.
3.
Antikonvulsan :
fenitoin.
b.
Stroke Nonhemoragi
1.
Pemberian Trombolisis
2.
Pemberian obat-obatan
jantung seperti digoksin pada aritmia jantung atau alfa beta, captropil,
antagonis kalsium pada pasien dengan hipertensi.
i)
Masalah
Keperawatan yang Muncul
1)
Hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan hemiparesis, kehilangan keseimbangan, dan cedera otak.
2)
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret.
3)
Kurang perawatan diri
berhubungan dengan gejala sisa stroke.
4)
Perubahan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan perubahan intraserebral, peningkatan TIK.
5)
Resiko cedera
berhubungan dengan paralisis.
2.1.2
Mobilitas
Fisik
a)
Pengertian
Mobilisasi
atau mobilitas merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas,
mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktifitas dalam rangka
mempertahankan kesehatannya (Hidayat
A.Aziz Alimul, 2008).
Mobilisasi
merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak bebas, mudah, dan teratur
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktifitas dalam rangka mempertahankan
kesehatannya (Hidayat A.Aziz Alimul dan Uliyah musrifatul, 2012).
b)
Jenis
Mobilitas
Menurut
Hidayat A.Aziz Alimul (2008), mobilitas dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Mobilitas penuh,
merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga
dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh
ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol
seluruh area tubuh seseorang.
2.
Mobilitas sebagian,
merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak
mampu bergerak secara bebas karena di pengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan
sensorik pada area tubuhnya. Pasien paraplegia dapat mengalami mobilitas
sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan control motorik dan sensorik.
Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Mobilitas
sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan
yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversible
pada sistem muskuloskelekta, contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
b. Mobilitas
sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan
yang bersifat menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang
reversible, contohnya terjadinya hemiplegia pada pasien CVA, paraplegia karena
cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya sistem saraf motorik
dan sensorik.
c)
Faktor
Yang Mempengaruhi Mobilitas
Mobilitas
dan imobilitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya gaya hidup,
proses penyakit, kebudayaan, tingkat energi dan usia. Perubahan gaya hidup
dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas dan imobilitas, hal ini karena dampak
perilaku/kebiasaan sehari-hari. Proses penyakit atau injuri, dapat mempengaruhi
kemampuan mobilitas karena dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Kemampuan
melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi budaya, contohnya budaya orang
sering jalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat atau ketika mengalami
gangguan mobilitas saat sakit. Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi
dengan baik maka membutuhkan energi yang cukup. Usia dan status perkembangan,
kemampuan mobilisasi pada tingkat usia berbeda, hal ini dikarenakan kemampuan
atau kematangan fungsi alat gerak (Hidayat A.Aziz Alimul, 2008).
d)
Dampak
Hambatan Mobilitas Fisik
Dampak dari
hambatan mobilitas fisik dalam tubuh dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti
perubahan sistem integumen terjadi penurunan elastisitas kulit karena sirkulasi
darah akibat hambatan mobilitas dan terjadi iskemia serta nekrosis jaringan
superficial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat tekanan kulit yang kuat
dan sirkulasi yang menurun ke jaringan, perubahan eliminasi, perubahan dalam
sistem metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan
dalam kebutuhan nutrisi, perubahan sistem pernafasan, gangguan sistem
muskuloskelektal (Hidayat A.Aziz Alimul dan Uliyah musrifatul, 2012).
e)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
klien CVA dengan hambatan mobilitas fisik (Doenges Marilynn e et al, 1999) :
1)
Bina hubungan saling
percaya.
2)
Kaji fungsi motorik.
3)
Ubah posisi klien
setiap 2 jam.
4)
Letakkan pasien pada
posisi telungkup jika mentoleransi.
5)
Letakkan papan peyangga
pada kaki saat tidur di tempat tidur.
6)
Letakkan bantal pada
ketiak diantara lengan atas.
7)
Observasi daerah yang
tertekan.
8)
Lakukan latihan
pergerakan sendi atau ROM.
9)
Obsevasi tanda-tanda
vital.
10)
Anjurkan pasien untuk latihan
menggunakan ekstermitas yang sehat untuk menggerakkan anggota tubuh yang lemah.
11)
Kolaborasi dengan
fisioterapi.
f)
Evaluasi
Keperawatan
Evaluasi yang
diharapkan dari hasil tindakan keperawatan untuk mengatasi hambatan mobilitas
fisik adalah (Hidayat A.Aziz Alimul, 2008) :
1)
Peningkatan fungsi
sistem tubuh.
2)
Peningkatan kekuatan
dan ketahanan otot.
3)
Peningkatan fungsi
motorik.
4)
Tidak adanya luka
tekan.
g)
Range
Of Motion (ROM)
Range of motion (ROM),
menurut Hidayat, A.Aziz Alimul., Musrifatul Uliyah (2012) :
A. ROM Lengan atas :
1. Fleksi
dan Ekstensi Pergelangan Tangan
Prosedur
Kerja :
1) Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan.
2) Cuci
tangan.
3) Atur
posisi lengan pasien menjauhi sisi tubuh dan siku menekuk.
4) Pegang
tangan pasien dengan satu tangan dan tangan yang lain memegang pergelangan
tangan pasien.
5) Tekuk
telapak tangan pasien kedepan sejauh mungkin.
6) Lakukan
observasi terhadap perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak pergelangan
dan kekakuan sendi.
7) Cuci
tangan setelah prosedur dilakukan.
Gambar 2.1 Fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
2. Pronasi
dan Supinasi Lengan Bawah
Prosedur Kerja :
1) Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan.
2) Cuci
tangan.
3) Atur
posisi lengan bawah menjauhi tubuh dengan siku menekuk.
4) Letakkan
satu tangan perawat pada pergelangan pasien dan pegang tangan pasien dengan
tangan lainnya.
5) Putar
lengan bawah pasien kea rah kanan atau kiri.
6) Kembalikan
ke posisi awal sebelum dilakukan pronasi dan supinasi.
7) Lakukan
observasi terhadap perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak lengan bawah
dan kekakuan.
8) Cuci
tangan setelah prosedur dilakukan.
Gambar 2.2 Pronasi dan supinasi
lengan bawah (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
3. Fleksi
Bahu
Prosedur
Kerja :
1) Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan.
2) Cuci
tangan.
3) Atur
posisi tangan pasien di sisi tubuh pasien.
4) Letakkan
satu tangan perawat diatas siku pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan
lainnya.
5) Angkat
lengan pasien pada posisi awal.
6) Lakukan
observasi perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak bahu dan kekakuan.
7) Cuci
tangan setelah prosedur dilakukan.
Gambar 2.3
Fleksi bahu (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
4. Fleksi
dan ekstensi siku
Prosedur Kerja :
1) Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan.
2) Cuci
tangan
3) Atur
posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi tubuh dan telapak mengarah ke tubuh
pasien. Letakkan tangan perawat diatas siku pasien dan pegang tangan pasien
dengan tangan lainnya.
4) Tekuk
siku pasien sehingga tangan pasien mendekat ke bahu.
5) Lakukan
kembali ke posisi semula.
6) Lakukan
observasi terhadap erubahan yang terjadi. Misalnya, kekakuan dan nyeri sendi.
7) Cuci
tangan setelah prosedur dilakukan.
Gambar 2.4 Fleksi dan ekstensi
siku (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
5. Abduksi
dan Adduksi Bahu
Prosedur
Kerja :
1)
Jelaskan prosedur yang
akan dilakukan.
2)
Cuci tangan.
3)
Atur posisi lengan
pasien disamping tubuhnya.
4)
Letakkan satu tangan
perawat diatas siku pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan lainnya.
5)
Gerakkan lengan pasien
menjauh dari tubuhnya.
6)
Kembalikan keposisi
semula atau awal.
7)
Lakukan observasi
perubahan yang terjadi. Misalnya, adanya kekakuan dan adanya nyeri.
8)
Cuci tangan setelah
prosedur dilakukan.
Gambar
2.5 Abduksi dan adduksi bahu (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah,
2012)
6. Rotasi
Bahu
Prosedur Kerja :
1) Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan.
2) Cuci
tangan.
3) Atur
posisi lengan pasien menjauhi dari tubuhnya (kesamping) dengan siku menekuk.
4) Letakkan
satu tangan perawat di lengan atas pasien dekat siku dan pegang tangan pasien
dengan tangan lainnya.
5) Lakukan
rotasi bahu dengan lengan bawah sampai menyentuh tempat tidur, telapak tangan
menghadap kebawah.
6) Kembalikan
lengan ke posisi awal.
7) Gerakkan
lengan bawah ke belakang sampai menyentuh tempat tidur, telapak tangan
menghadap ke atas.
8) Kembalikan
lengan ke posisi awal.
9) Lakukan
observasi perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak, kekakuan dan nyeri.
10) Cuci
tangan setelah prosedur dilakukan.
Gambar 2.6 Rotasi bahu (Hidayat A.Aziz Alimul dan
Musrifatul Uliyah, 2012)
B.
ROM
Kaki :
1. Fleksi
dan Ekstensi Jari-jari Kaki
Prosedur
Kerja :
1) Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan
2) Cuci
tangan
3) Pegang
jari-jari kaki pasien dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang
kaki.
4) Bengkokkan
(tekuk) jari-jari ke bawah.
5) Leruskan
jari-jari kemudian dorong ke belakang.
6) Kembalikan
ke posisi awal.
7) Lakukan
observasi perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak dan adanya kekakuan
sendi.
8) Cuci
tangan setelah prosedur dilakukan.
Gambar 2.7 Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki
(Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
2. Infersi
dan Efersi Kaki
Prosedur
Kerja :
1)
Jelaskan prosedur yang
akan dilakukan.
2)
Cuci tangan.
3)
Pegang separuh bagian
atas kaki pasien dengan tangan perawat dan pegang pergelangan kaki pasien
dengan tangan satunya.
4)
Putar kaki dengan arah
ke dalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki lainnya.
5)
Kembalikan ke posisi
semula atau awal.
6)
Putar kaki keluar
sehingga bagian telapak kaki menjauhi kaki yang lain.
7)
Kembalikan ke posisi
semula atau awal.
8)
Lakukan observasi
perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak dan kekakuan.
9) Cuci
tangan setelah prosedur dilakukan.
Gambar
2.8 Infersi dan efersi kaki (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
3. Fleksi
dan Ekstensi Pergelangan Kaki
Prosedur
Kerja :
1)
Jelaskan prosedur yang
akan dilakukan.
2)
Cuci tangan.
3)
Letakkan satu tangan
pada telapak kaki pasien dan satu tangan yang lain di atas pergelangan kaki,
jaga kaki lurus dan rileks.
4)
Tekuk pergelangan kaki
arahkan jari-jari kaki kearah dada atau mendekati tubuh.
5)
Kembalikan ke posisi
awal.
6)
Tekuk pergelangan kaki menjauhi
tubuh atau kearah bawah.
7)
Lakukan observasi
perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak dan kekakuan.
8)
Cuci tangan setelah
prosedur dilakukan.
Gambar 2.9
Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul
Uliyah, 2012)
4. Fleksi
dan Ekstensi Lutut
Prosedur
Kerja :
1)
Jelaskan prosedur yang
akan dilakukan.
2)
Cuci tangan.
3)
Letakkan satu tangan di
bawah lutut pasien dan pegang tumit pasien dengan tangan lain.
4)
Angkat kaki, tekuk pada
lutut dan pangkal paha.
5)
Lanjutkan menekuk lutut
kea rah dada pasien sedekat mungkin dan semampu pasien.
6)
Turunkan dan luruskan
lutut dengan tetap mengangkat kaki.
7)
Lakukan observasi
perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak, kekakuan dan nyeri.
8)
Cuci tangan setelah
prosedur dilakukan.
Gambar 2.10 Fleksi
dan ekstensi lutut (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
5. Rotasi
Pangkal Paha
Prosedur
Kerja :
1)
Jelaskan prosedur yang
akan dilakukan.
2)
Cuci tangan.
3)
Letakkan satu tangan
perawat pada pergelangan kaki pasien dan satu tangan yang lain di atas lutut
pasien.
4)
Putar kaki kearah
dalam.
5)
Putar kaki kearah
keluar.
6)
Kembalikan ke posisi
semula atau awal.
7)
Lakukan observasi
perubahan yang terjadi. Misalnya, rentang gerak dan kekakuan.
8)
Cuci tangan setelah
prosedur dilakukan.
Gambar
2.11 Rotasi pangkal paha (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah, 2012)
6. Abduksi
dan Adduksi Pangkal Paha
Prosedur
Kerja :
1)
Jelaskan prosedur yang
akan dilakukan.
2)
Cuci tangan.
3)
Letakkan satu tangan
perawat di bawah lutut pasien dan satu tangan lainnya memegang tumit.
4)
Angkat kaki pasien
kurang lebih 8 cm dari tempat tidur dan pertahankan posisi tetap lurus.
Gerakkan kaki menjauhi tubuh pasien atau kearah samping.
5)
Gerakkan kaki mendekati
tubuh pasien.
6)
Kembalikan ke posisi
awal.
7)
Lakukan observasi
perubahan yang terjadi. Misalnya, tertang gerak, kekakuan dan nyeri.
8)
Cuci tangan setelah
prosedur dilakukan.
Gambar
2.12 Abduksi dan adduksi pangkal paha (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul
Uliyah, 2012)
2.2
Asuhan
Keperawatan Teori
2.2.1
Pengkajian
Pengkajian adalah tahap
awal dari proses keperawatan dan merukapan suatu proses pengumpulan data yang
sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi suatu
kesehatan klien (Nursalam,2009). Pengkajian meliputi :
1. Identitas
: Menyerang semua orang
2. Jenis
kelamin : Lebih sering menyerang pria.
3. Usia
: baisanya terjadi pada klien dengan usia lebih dari 50 tahun.
4. Tanda-tanda
vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
5. Riwayat
penyakit sekarang : umumnya mengalami penurunan kesadaran, kelumpuhan sebagian
anggota gerak, kadang mengalami gangguan bicara yang sulit mengerti.
6. Riwayat
penyakit dahulu : umumnya penderita hipertensi.
7. Riwayat
penyakit keluarga : ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, adanya
riwayat stroke, diabetes militus.
8. Pengakajian
psikospiritual : pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan
klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif. Dalam pola penanganan stress, klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang
melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan
atau kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
9. Pengkajian
tingkat aktifitas : klien tergantung pada orang lain
Tingkat aktifitas :
0
: mampu merawat secara
penuh
1
: memperlukan
penggunaan alat
2
: memerlukan bantuan
atau pengawasan orang lain
3
: memerlukan bantuan
dan pengawasan orang lain dan peralatan atau alat
4
: semua tergantung dan tidak dapat melakukan
atau berpartisipasi dalam perawatan
10. Pemeriksaan
Fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (b1-b6) dengan fokus pada pemeriksaan b3(brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien(Muttaqin
Arif, 2012) :
a. B1
( Breathing)
Pada inspeksi
didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Auskultasi bunyi nafas
tambahan seperti ronkhi.
Pada klien dengan
tingkat kesadaran composmentis, pada inspeksi peningkatan pernafasan, Palpasi
toraks didapatkan fokal premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak
didapatkan bunyi nafas tambahan.
b. B2
(Blood)
Pengkajian pada sistem
kardiovaskular didapatkan renjatan yang sering terjadi pada klien CVA. Tekanan
darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi massif.
c. B3
(Brain)
Stroke menyebabkan
berbagai defistit neurologis, bergantung pada lokasi lesi pembuluh darah mana
yang tersumbat, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah
kolateral. Pengakajian B3 meliputi :
1. Pengkajian
tingkat kesadaran pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien CVA biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikoma. Jika klien sudah koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberi asuhan.
Skala GCS :
a. Reflek
membuka mata :
Spontan 4
Dengan perintah 3
Dengan rangsangan nyeri 2
Tidak berespon 1
b. Respon
verval :
Berorientasi baik 5
Bicara membingungkan 4
Kata-kata tidak tepat 3
Suara tidak dapat
dimengerti 2
Tidak berespon 1
c. Respon
motorik :
Ikuti perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Menarik area yang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak berespon 1
2. Pengkajian
status mental dengan mengobservasi penampilan, tingkah laku, ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik klien.
3. Pengkajian
fungsi intelektual didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
4. Pengkajian
saraf cranial (Nervus I sampai nervus XII)
1) Saraf
I. Biasanya pasien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
2) Saraf
II. Disfungsi persepsi visual. Gangguan hubungan visual-spasial sering terlihat
pada klien dengan hemiplegia kiri.
3) Saraf
III,IV, danVI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis pada satu sisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemapuan gerak.
4) Saraf
V. Pada beberapa keadaan stroke mengakibatkan penurunan kemampuan koordinasi
gerakan mengunyah.
5) Saraf
VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
6) Saraf
VIII. Tidak ditemukan adanya tuli.
7) Saraf
IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
8) Saraf
XI. Tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus.
9) Saraf
XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi serta indra pengecapan
normal.
b. B4
(Bladder )
Setelah stroke klien
mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung
kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang sfingter urine
eksternal hilang atau berkurang.
c. B5
(Bowel)
Didapatkan adanya
keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual, muntah fase akut,
penurunan gerakan peristaltik karena imobilisasi yang lama.
d. B6
(Bone)
Biasanya didapatkan
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan, dan penurunan kekuatan otot, tonus otot meningkat, hemiparesis.
Selain itu perlu dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena mengalami hambatan mobilitas fisik.
Skala kekuatan Otot
:
0 : Tidak ada kontraksi, 100% pasif
1 : Tampak kontraksi, ada sedikit tahanan atau
gerakan
2 : Mampu menahan gravitasi tapi dengan sedikit
sentuhan akan jatuh
3 :
Mampu menahan gravitasi, tidak mampu melawan tekanan pemeriksa
4 :
Kekuatan kurang dari yang lain
5 :
Kekuatan utuh
2.2.2.
Diagnosis
Keperawatan
Diagnosis
keperawatan adalah keputusan klinik mengenai respon individu (klien dan
masyarakat) tentang masalah kesehatan aktual atau potensial sebagai dasar
seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan
kewenangan perawat (Nursalam, 2009). Diagnosis keperawatan yang muncul karena
CVA antara lain:
1)
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret.
2)
Perubahan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan perubahan intraserebral, peningkatan TIK.
3)
Hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan hemiparesis, kehilangan keseimbangan, dan cedera otak.
4) Kurang
perawatan diri berhubungan dengan gejala sisa stroke.
5)
Resiko cedera
berhubungan dengan paralisis.
2.2.3.
Intervensi
Keperawatan
Perencanaan atau
intervensi keperawatan merupakan rencana yang disusun perawat untuk kepentingan
asuhan keperawatan yang akan digunakan oleh perawat yang menyusun maupun
perawat lainnya. Intruksi atau perintah dokter bukanlah intruksi untuk perawat
melainkan ditujukan untuk klien tetapi intervensinya dilaksanakan oleh perawat (Nursalam,
2009). Intervensi berdasarkan diagnosis CVA yang muncul antara lain :
1. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret.
DS : -
DO : Tedengar ronkhi,
ketidakmampuan batuk efektif.
Kriteria hasil :
Tidak terdengar ronkhi, menunjukkan batuk efektif
Intervensi :
1)
Kaji keadaan jalan
nafas
R/
Obstruksi terjadi karena bedrest terlalu lama.
2)
Lakukan penghisapan
lendir jika diperlukan
R/
Penghisapan membantu mengeluarkan sekret.
3)
Fisioterapi dada
(fibrating, clapping, postural drainase)
R/
Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran sekret.
4)
Ajarkan teknik batuk
efektif
R/
Batuk efektif dapat mengeluarkan sekret dari jalan nafas.
5)
Berikan minuman hangat
jika keadaan memungkinkan
R/
Membantu mengencerkan sekret.
6)
Kolaborasi pemberiaan
obat obat bronkodilator
R/
Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret.
2. Perubahan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perubahan intraserebral,
peningkatan TIK.
DS : klien mengeluh
nyeri kepala
DO : muntah proyektil,
klien gelisah
Kriteria hasil :
klien tidak mengeluh nyeri kepala, tidak muntah, tidak gelisah.
Intervensi :
1)
Berikan penjelasan
kepada keluarga klien tentang peningkatan TIK.
R/ Keluarga dapat
berpartisipasi dalam proses penyembuhan.
2)
Berikan bed rest total
pada klien
R/ Perubahan
pada TIK akan menyebabkan resiko untuk terjadi herniasi otak.
3)
Observasi status
neurologis dengan GCS
R/ Dapat mengurangi
kerusakan otak lebih lanjut.
4)
Observasi tanda-tanda
vital
R/ Mengetahui
perkembangan klien.
5)
Bantu klien membatasi
muntah dan batuk
R/
Aktivitas ini dapat meningkatkan TIK.
6)
Berikan terapi sesuai intruksi
dokter
R/
Membantu mempercepat penyembuhan.
3. Hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparesis,
kehilangan keseimbangan, dan cedera otak.
DS : Klien mengatakan sulit bergerak
DO :Kelemahan, parestesia, kesulitan membolak-balik
posisi, penurunan kekuatan otot, keterbatasan rentan gerak.
Kriteria Hasil :
Tidak ada luka dekubitus, tidak ada kontraktur otot, tidak terjadi penyusutan
otot.
Intervensi :
1)
Bina hubungan saling
percaya
R/
Memperlancar dalam pemberian asuhan keperawatan.
2)
Kaji fungsi motorik
R/
Lobus frontal dan parietal berisi saraf-saraf yang mengatur fungsi motorik dan
sensorik yang dapat dipengaruhi oleh iskemia atau perubahan tekanan.
3)
Ubah posisi klien
setiap 2 jam
R/
Mencegah terjadinya luka dekubitus akibat tidur terlalu lama.
4)
Letakkan pasien pada
posisi telungkup jika mentoleransi.
R/
Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fugsional. Tetapi kemungkinan
meningkatkan ansietas pasien terutama mengenai kemampuan bernafas.
5)
Letakkan papan peyangga
pada kaki saat tidur di tempat tidur
R/
Mencegah deformitas dan footdrop.
6)
Letakkan bantal pada
ketiak diantara lengan atas
R/
Posisi ini membidangi bahu dalam berputar dan mencegah edema dan akibat
fibrosis.
7)
Observasi daerah yang
tertekan
R/
Daerah yang tertekan mudah sekali terjadi trauma.
8)
Lakukan latihan
pergerakan sendi atau ROM
R/
Mencegah penurunan kekuatan otot dan memperlancar aliran darah.
9)
Obsevasi tanda-tanda
vital
R/
Mengetahui perkembangan klien.
10)
Anjurkan pasien untuk
latihan menggunakan ekstermitas yang sehat untuk menggerakkan anggota tubuh
yang lemah.
R/
Dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu
dan memerlukan dorongan serta latihan aktif.
11)
Kolaborasi dengan
fisioterapi.
R/
Melatih anggota gerak yang lemah.
4. Kurang
perawatan diri berhubungan dengan gejala sisa stroke.
DS : Klien mengatakan
badan lumpuh sebelah
DO : Klien
bedrest, perubahan tanda vital, kerusakan anggota gerak, penurunan tingkat
kesadaran.
Kriteria hasil :
klien mampu melakukan perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, klien
tampak bersih.
Intervensi :
1)
Kaji skala ADL
R/ Mengetahui tingkat
ketergantungan klien.
2)
Lakukan oral hygiene
R/ Memberikan rasa
nyaman pada area mulut.
3)
Bantu klien mandi
R/ Memberikan
rasa nyaman pada tubuh klien dan membantu membersihkan tubuh.
4)
Bantu klien ganti
pakaian
R/ Memabantu mengurangi
bau karena baju yang kotor.
5)
Ganti pengalas tempat
tidur
R/ Memberikan
kenyamanan pada klien.
5. Resiko
cedera berhubungan dengan paralisis.
DS
: klien atau keluarga mengatakan mengalami kelumpuhan anggota gerak
DO
: hemiplegia, penurunan kesadaran
Kriteria
hasil : Klien tidak jatuh, tidak terdapat luka lecet
Intervensi
:
1)
Pasang pagar tempat
tidur
R/
Pagar tempat tidur membantu melindungi klien.
2)
Gunakan cahaya yang
cukup
R/
Pencahayaan yang cukup membantu untuk mempermudah dalam pengawasan.
3)
Kaji adanya trauma atau
lecet pada kulit
R/
Membantu diteksi dini resiko cidera
2.2.4.
Implementasi
Keperawatan
Implementasi
merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan rencana
intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai
setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan untuk klien mencapai tujuan
yang diharapkan.
Tujuan dari
implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
untuk mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan,
dan memfasilitasi koping. Selama tahap implementasi perawat, terus melakukan
pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan
kebutuhan klien. Semua intervensi didokumentasikan kedalam format yang telah
ditetapkan institusi (Nursalam, 2009).
2.2.5.
Evaluasi
Keperawatan
Evaluasi
merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dan tindakan intelektual
untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis
keperawatan, rencana intervensi dan implementasinya. Tahap evaluasi
memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisis, perencanaan, dan implementasi intervensi (Nursalam, 2009).
Evaluasi dibagi menjadi dua antara lain :
1. Evaluasi
proses adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan
asuhan keperawatan. Evaluasi proses harus dilaksanakan segera setelah
perencanaan keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai efektivitas
intervensi tersebut. Evaluasi proses harus terus menerus dilaksanakan hingga
tujuan yang telah ditentukan tercapai. Sistem penulisan atau dokumentasi pada
evaluasi proses ini dapat menggunakan sistem SOAP atau model dokumentasi
lainnya.
2. Evaluasi
hasil adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan
keperawatan. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan
secara paripurna. Evaluasi hasil bersifat objektif, fleksibel, dan efesien.
BAB
3
METODE
PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah studi kasus. Desain
penelitian ini mengeskplorasi 2 pasien yang terdiagnosis CVA nonhemoragi dengan
hambatan mobilitas fisik diruang paviliun flamboyan RSUD Jombang, Klien
diobservasi selama 3 x 24 jam.
3.2 Batasan Istilah
Stroke (CVA)
adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologis
mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak (Nuratif
Amin Huda dan Hardi Kusuma, 2013).
CVA nonhemoragi (infark)
adalah tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak
sebagian atau seluruhnya terhenti. CVA atau Stroke iskemik dibagi menjadi 3
(Nuratif Amin Huda dan Hardi Kusuma, 2013) :
1) Stroke
trombotik : proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
2) Stroke
embolik : tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3) Hipoperfusion
sistemik : berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya
gangguan denyut jantung.
Mobilisasi atau
mobilitas merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah
dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktifitas dalam rangka
mempertahankan kesehatannya (Hidayat A.Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah,2012).
Penelitian ini dibatasi
pada pasien CVA nonhemoragi dengan hambatan mobilitas fisik di ruang paviliun
flamboyan RSUD Jombang.
3.3 Subyek Penelitian
Subyek yang dilakukan pada penelitian ini adalah 2
klien dengan diagnosis medis dan masalah keperawatan yang sama yaitu : Klien
CVA nonhemoragi dengan hambatan mobilitas fisik, usia lebih dari 50 tahun
dengan jenis kelamin laki-laki.
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian studi kasus ini dilakukan di ruang
pavilliun flamboyan RSUD Jombang. Klien diobservasi selama 3 x 24 jam. Jika
sebelum 3 hari klien sudah pulang, maka perlu dilakukan perawatan home care
(mengikuti perawatan klien di rumah). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli
tahun 2015.
3.5 Pengumpulan Data
Pada
sub bab ini dijelaskan tentang metode pengumpulan data yang digunakan :
1) Wawancara
(hasil anamnesis berisi tentang identitas klien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu – riwayat penyakit keluarga,
pengkajian 11 pola gordon). Sumber data diperoleh dari klien, keluarga, perawat.
2) Observasi
dan pemeriksaan fisik (dengan pendekatan IPPA = ispeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi) pada sistem tubuh klien.
3) Studi
dokumentasi dan angket (hasil dari pemeriksaan diagnostik dan data yang
relevan).
3.6 Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji
kualitas data atau informasi yang diperoleh sehingga menghasilkan data dengan
validitas tinggi. Uji keabsahan data dilakukan dengan :
1) Memperpanjang
waktu pengamatan atau tindakan.
2) Sumber
informasi tambahan menggunakan triagulasi dari tiga sumber data utama yaitu :
Klien, keluarga, dan perawat.
3.7 Analisis Data
Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan,
sewaktu pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data
dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan
teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik
analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban dari penelitian yang
diperoleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam yang dilakukan untuk
menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik analisis digunakan dengan cara
observasi oleh penelitian dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk
selanjutnya diinterpretasikan oleh peneliti dibandingkan teori yang ada sebagai
bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Urutan dalam
analisis adalah :
1) Pengumpulan
data
Data dikumpilkan dari
hasil WOD (wawancara, observasi, dokumentasi). Hasil ditulis dalam bentuk
catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkrip (catatan
terstruktur).
a. Identitas
Klien
IDENTITAS KLIEN
|
KLIEN 1
|
KLIEN 2
|
Nama
|
|
|
Umur
|
|
|
Jenis Kelamin
|
|
|
Suku/Bangsa
|
|
|
Agama
|
|
|
Pekerjaan
|
|
|
Pendidikan
|
|
|
Alamat
|
|
|
No. Register
|
|
|
Tanggal MRS
|
|
|
Diagnosa Medis
|
|
|
Penanggung Jawab
|
|
|
b. Riwayat
Penyakit
RIWAYAT
PENYAKIT
|
KLIEN
1
|
KLIEN 2
|
Keluhan
Utama
|
|
|
Riwayat penyakit sekarang
|
|
|
Riwayat penyakit dahulu
|
|
|
Riwayat penyakit keluarga
|
|
|
c. 11
Pola Gordon
POLA
GORDON
|
KLIEN
1
|
KLIEN
2
|
1.
Pola persepsi terhadap kesehatan
|
|
|
2.
Pola nutrisi
|
|
|
3.
Pola eliminasi
|
|
|
4.
Pola aktivitas dan latihan
|
|
|
5.
Pola istirahat tidur
|
|
|
6.
Pola sensori dan kognitif
|
|
|
7.
Pola persepsi dan konsep diri
|
|
|
8.
Pola hubungan peran
|
|
|
9.
Pola seksualitas
|
|
|
10.
Pola penanganan stress
|
|
|
11.
Pola keyakinan nilai
|
|
|
d. Pemeriksaan
Fisik
OBSERVASI
|
KLIEN 1
|
KLIEN 2
|
Tekanan
Darah
|
|
|
Nadi
|
|
|
Suhu
|
|
|
Pernafasan
|
|
|
GCS
|
|
|
PEMERIKSAAN FISIK
|
KLIEN 1
|
KLIEN 2
|
B1
Breathing
|
|
|
B2
Bleeding
|
|
|
B3
Brain
|
|
|
B4
Bladder
|
|
|
B5
Bowel
|
|
|
B6
Bone
|
|
|
e. Hasil
Pemeriksaan Penunjang
PEMERIKSAAN
|
KLIEN 1
|
KLIEN 2
|
Pemeriksaan
Radiologi
|
|
|
Pemeriksaan
Laboratorium
|
|
|
2) Mereduksi
data dengan membuat koding dan kategori
Data hasil wawancara
yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan dijadikan satu dalam bentuk
transkrip dan dikelompokkan menjadi data subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan
hasil pemeriksaan diagnostik kemudian dibandingkan dengan nilai normal.
3) Penyajian
data dan pembahasan
Penyajian data dapat
dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun teks naratif. Kerahasiaan dari
klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas klien. Pembahasan berisi
perbandingan antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus yang disajikan untuk
menjawab tujuan khusus.
4) Kesimpulan
Dari data yang
disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian
terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan
dilakukan dengan metode induksi.
Data yang dikumpulkan
terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan, dan evaluasi.
3.8 Etik Penelitian
Dicantumkan
etika yang mendasari penyusunan studi kasus, terdiri dari :
1) Informed consent
(persetujuan menjadi klien)
Informed
consent merupakan persetujuan untuk menjadi klien dan pemberian informasi mengenai penelitian yang
akan dilaksanakan, manfaat yang diperoleh, resiko-resiko yang akan terjadi.
2) Anonimity
(tanpa nama)
Anonimity dalam
penelitian merupakan cara dari peneliti untuk menghormati privasi sebagai
responden. Peneliti dapat menggunakan koding (inisial) sebagai pengganti
identitas responden
3) Confidentiality
(kerahasiaan)
Setiap individu
memiliki hak-hak dasar termasuk privasi dan kebebasan individu. Pada dasarnya
penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu termasuk
informasi yang bersifat pribadi. Dalam aplikasinya peneliti tidak boleh membuka
rahasia klien.
thaks min membantu bnget dlm ngerjain tugas kuliah
BalasHapussaya mau izin sharing materi keperawatan, semoga bermanfaat bagi semuanya.
perawat indonesia
Diagnosa Nanda Lengkap
askep keperawatan lengkap
askep teori